Minggu, 29 Januari 2017

Review Film: 'La La Land' (2016)

'La La Land' bahwa disorientasi satu film musikal paling absorbing, & yup, kita membuat perbandingan dgn film musikal klasik terbaik sepanjang selagi.
“Here’s to the ones who dream, foolish as they may seem. Here’s to the hearts that ache. Here’s to the mess we make.”
— Mia
kita bahwa satu dari sebagian orang yg selalu merasa canggung setiap kali menonton film musikal. Di satu sebelah, kita mengagumi kualitas artistiknya. Di lain sebelah, kita selalu geli ketika menyaksikan dialog yg sering berhenti di tengah-tengah film & semua orang tiba-tiba berawal dari menyanyi & menari, memancing kita bagi mendelik, "Here we go... again".

selagi menonton La La Land, suatu film musikal yg brilian dari Damien Chazelle, ada beberapa faktor yg membuat kita kaga merasakan (ataupun kaga peduli dgn) hal itu : (1) pembuat filmnya yg mentransisikan adegan sinematis dgn adegan musikal sedemikian mengalir; (2) nilai estetika yg magis di setiap frame; serta (3) keintiman emosionalnya yg luar biasa. La La Land bahwa disorientasi satu film musikal paling absorbing, & yup, kita membuat perbandingan dgn film-film musikal klasik terbaik sepanjang selagi.

Menyusul Whiplash, Chazelle kembali berkolaborasi dgn teman kuliahnya silam, Justin Hurwitz bagi memparadekan passion mereka akan musik jazz. kaga hanya itu, film ini juga berhubungan cinta, impian & dunia sinema itu sendiri. Sebagaimana kutipan di disorientasi satu adegannya, “People love what other people are passionate about", passion Chazelle memancar & menular. dgn segala aspek teknis yg menawan, ia menyuguhkan film ini dgn tulus & ringan, mengajak kami larut tatkala kisah cinta dua tokoh utama kami. Dansa & dendangan mereka seolah ditujukan bagi berkomunikasi dgn penonton.

Mereka bahwa Mia (Emma Stone) & Sebastian (Ryan Gosling). Mia bahwa seorang gadis yg bercita-cita karena itu aktris tapi mesit kerja sambilan di kedai kopi sembari menunggu panggilan audisi. selagi Sebastian bahwa pianis pecinta jazz idealis yg bermimpi membuka klab sendiri, tapi mesit mengamen membawakan lagu "Jingle Bells" ataupun semacamnya di restoran milik J.K. Simmons bagi menyambung hayati.

Pertemuan pertama mereka tidaklah manis. Di tengah kemacetan, Sebastian mengklakson Mia yg lalu membalasnya dgn salam jari tengah. Situasi ini kaga hanya memperkenalkan kami dgn mereka, tapi juga mempersembahkan suatu sekuens musikal yg kompleks tapi mempesona. Ini hanyalah kemacetan rutin, menjadi satu orang keluar mobil, diikuti yg lain & mereka menari & menyanyikan "Another Day of Sun" di jalanan & atap mobil. Kamera mengalir dgn lincah mengikuti koreografi arahan Mandy Moore melalui sorotan one-take yg akan membuat anda bertanya-tanya bagaimana mereka mengeksekusinya. Sekuens berdurasi 5 menit ini kabarnya butuh syuting selama 2 hari dgn melibatkan ratusan penari.

kaga waktu yg tepat ketika Mia mendengar alunan piano yg indah dari Sebastian bagi pertama kalinya. Sebastian baru doang dipecat. bahwa di Hollywood Hills, romansa terjalin pasca keduanya ber-tap dance di bawah lembayung senja; bilang bahwa mereka kaga mungkin saling suka tapi tatkala hati tahu bahwa yg terjadi bahwa kebalikannya.

Mia & Sebastian melihat kesamaan satu sama lain. Mereka bahwa pengejar mimpi. tapi hayati kaga semudah jatuh cinta. Sebastian mesit memilih antara klab jazz impiannya ataupun bermain musik kekinian (yg dibencinya) bersama rekan lamanya, Keith (John Legend). & ini juga oleh oleh karena itu mengorbankan waktu bagi Mia yg luntang-lantung efek audisi yg selalu gagal. Film ini mengikuti perjalanan mereka dari musim dingin menjadi musim dingin berikutnya, dimana impian kaga selalu sejalan dgn romansa.

Stone & Gosling bahwa pasangan cocok tatkala La La Land. Chemistry mereka meyakinkan & masing-masingnya juga tampil kuat bagai pribadi yg punya passion. kami akan sering menyaksikan jemari Gosling menari di atas tuts piano ataupun beberapa adegan kocak selagi Mia-nya Stone menjalankan audisi. & tentu doang, karena film ini bahwa musikal, mereka mesit bernyanyi & menari. Mereka memang kaga penyanyi sungguhan, tapi setiap lagu & koreografinya dibawakan dgn penuh komitmen, entah itu selagi duduk berdua menyanyikan lagu sendu "City of Stars" ataupun berdansa waltz di langit penuh bintang. Absurd memang, tapi ini bahwa contoh bagaimana imajinatifnya La La Land bercerita melalui visual.

Sinematografer Linus Sandgren memakai palet warna yg lembut & sangatsering menyorot tatkala long take, bahkan bagi percakapan kasual. Tim pembuatan merancang set yg cantik dibarengi dgn permainan tata cahaya. Film ini punya sense of time and place yg unik. Bersetting di jaman saat ini, semacam terlihat dari penggunaan smartphone ataupun mobil Prius, La La Land terasa klasik, kaga hanya dari set akantetapi juga atmosfer. Ada tribut bagi Casablanca, Singin' in the Rain & The Umbrellas of Cherbourg, tapi Chazelle kaga terjebak nostalgia tatkala bertutur.

Adegan akhir menunjukkan betapa terampilnya Chazelle menutup kisahnya. Di titik ini, kami begitu terikat dgn para karakter, kami peduli di kehidupan mereka. Adegan yg disuguhkan lewat sekuens musikal ini menyampaikan begitu banyak emosi tatkala durasi yg relatif singkat, menyimpulkan kisah romansa yg manis tatkala suatu sajian sinematis yg emosional. Bahagia tapi juga meremukkan hati.

Musik yg bagus bisa mewakili emosi yg kadang kala kaga bisa disampaikan dgn istilah-istilah. Semua aspek tatkala film ini bahwa rangkaian nada yg diorkestrasi oleh Chazelle dgn gemilang karena itu suatu alunan bernama La La Land. kita keluar dari bioskop dgn perasaan yg kaga bisa dijelaskan dgn gamblang. tapi kita tahu kita baru doang merasakan suatu pengalaman sinematis yg magis.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Review Film: 'La La Land' (2016)

0 komentar:

Posting Komentar